segitiga : ego, komitmen dan alam

.
.
SEGITIGA: EGO, KOMITMEN DAN ALAM
.
Ranu Kumbolo 31 Oktober 2006, Jam 21.20 WIB, 4 – 5 °C, antara terpejamnya mata kita hingga terbit matahari pagi di ufuk timur Ranu Kumbolo.
.
Sebuah tenda berwarna kuning berdiri tegak dan kokoh disisi barat Ranu Kumbolo, sebuah tenda yang dua hari lalu ditemani oleh dua tenda lainnya dan kini tidak. Tidak juga dihiasi oleh canda - ceria kebersamaan petualangan yang seharusnya menjadi syarat kebersamaan sebuah perjalanan petualangan alam bebas. Malam itu suasana beku dan deru angin terasa sangat menyelimuti erat dibandingkan dengan malam – malam sebelumnya, mendera dan menyesakkan segala kemampuan jiwa dan raga yang tersisa setelah segala yang kita capai bersama.
.
Terpuruk kaku seorang Surya di tenda yang berdiri kokoh, sebagai seorang yang telah kita kenal bersama cenderung menonjolkan sikap tertutup dan memaksa Teddy yang dari awal terkesan hangat dan akrab lebih menjadi sosok manusia yang tak berarah, teddy yang beberapa kita ketahui merupakan salah satu anggota tim yang kita harapkan sebagai poros netral diantara kita cenderung tidak dapat berbuat banyak untuk lepas dari jeratan kebuntuan malam yang suntuk dan hitam pekat tersebut. Malam itu sementara Surya dan Teddy hanya bisa larut dalam suasana lelah dan terkuras, sesosok tubuh kurus dan dekil patua tergolek kaku didalam sleeping bag menyusuri alam tidurnya, tak ubah seperti anak kecil yang lelah selesai bermain, tergolek kaku dan seakan tidak ingin tau dengan hal – hal yang sedang terjadi didalam maupun luar tenda.
.
Manakala tenda kuning di pinggiran danau tersebut dihuni oleh tiga anggota tim yang dari awal pendirian tenda tersebut terlihat seperti kehilangan arah, lima anggota tim lainya telah mengambil posisi bangsal barat (kiri) shelter semipermanen areal Ranu Kumbolo yang hanya berjarah lebih kurang lima puluh meter dari tenda kuning yang seharusnya ditemani oleh dua tenda lainya. Dengan sigap seorang Gaple yeng sejak awal dikenal sarat akan pengalaman sebagai penjelajah membedah ransel – ransel dan memulai persiapan kegiatan untuk malam tersebut. Sementara Ulfa dan Fai yang sejak awal kepulangan dari Kalimati telah terkuras kini harus tergeletak sejenak di bangsal. Tak ubah seperti enam anggota tim sebelumnya Rangga dan Kiting hanya seperti air yang mengalir dan menuruti lekuk – lekuk alam yang akan dilalui.
.
Sementara kita menikmati dan mencerna suasana kaku dan beku yang menyelimuti kita bersama, ketika itu pula-lah angin dengan leluasa terus dan terus berhembus mengarungi lekuk – lekuk topography alam, Ketika itu pula-lah seluruh komponen alam tetap tegar bercengkerama dengan malam yang begitu gulita dan pekat di sekitar Ranu Kumbolo.
Sepintas jika kita renungi, mungkin alam telah berusaha bersahabat dengan kita, mungkin alam telah berusaha untuk bersahabat dengan kita, mungkin alam telah mendidik kita, mungkin alam telah berlaku apa-adanya, Berlaku apa-adanya tanpa terpengaruh oleh sifat dan sikap kita yang cenderung berubah – ubah. Kala itu apakah kita sadar bahwa kita telah melupakan alam yang selama ini ingin kita peluk bersama.
.
Detak demi detak jantung kita lewati, tetapi dengan terbentang lebar dan curamnya jurang pemisah diantara kita yang semakin malam, semakin lebar dan curam tersebut telah mendera kita sekali lagi. Jurang tersebut kini telah memisahkan setiap kita, merobek – robek komitmen akan kata “Kita” yang dari awal telah kita pupuk dan sirami agar tercapai segala nilai kebebasan mutlak dari sebuah perjalanan petualangan alam bebas.
.
~
.
.